Sunday, 14 December 2008

Orang Bali Diantara Banyak Persimpangan




Hampir tidak ditemukan orang Bali yang yang tidak bangga menjadi manusia Bali. Mereka sadar memiliki sebuah kelebihan. Kadang mereka selalu merasa menjadi bangsa yang unggul, pantas diperhitungkan. Mereka menganggap dirinya lebih baik dari pada manusia lainnya, dan beruntung terlahir sebagai orang Bali. Mereka sadar kepada hakikat hidupnya yang disegani dan disenagi, antara lain karena sifat sederhana dan tidak menyukai gembar-gembor harta maupun kelebihan yang dimilikinya. Masyarakat Bali terkenal jujur dan suka mengalah, karena mereka sangat percaya kepada hukum sebab akibat. Mereka sangat takut kepada hal yang tidak nampak, berbau magis, terlebih bila menyangkut dengan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Bagi orang bali, sanjungan dan pujian yang diberikan kepada mereka merupakan hal yang biasa. Orang Bali menjadi berbesar hati dan bangga karenanya. Sanjungan itu seringkali menyebabkan harga diri masyarakat Bali menjadi naik, gengsi mereka terangkat, sehingga mereka menjadi kian percaya diri. Orang bali merasa semakin hebat. Merasa menjadi orang yang “paling” daripada lainnya.
Tentu tidak semua kesenangan dapat diperoleh dari pujian yang diterima. Orang Bali lambatlaun berubah menjadi angkuh. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan sanjungan untuk menajadi yang terbaik. Memanfaatkan kesempatan untuk tampil di muka dunia. Mereka menganggap yang pantas bagi mereka adalah tempat di atas, posisi yang tinggi. Tidak perlu menjadi presiden, hanya cukup menjadi manager atau direktur pun sudah cukup memuaskan baginya. Yang terpenting memiliki pangkat dan derajat di mata masyarakat.
Namun tentunya tidak seluruh orang Bali bisa menempati posisi yang diinginkan. Mereka yang tidak beruntung akan menjadi “kalangan sudra”. Paling buruk, mereka akan mengemban profesi sebagai pedagang di pasar. Itupun tak masalah, toh pedagang masih mendapat penghasilan dari sana, tidak perlu bekerja terlalu keras, cukup menjajakan barang, harumnya uangpun akan segera tercium. Orang bali biasanya menyukai berjualan dengan bergerombol, tidak hanya menjual pangan, mereka juga menyambi sebagai penjaja alat upacara berupa canang maupun banten. Mereka hanya menjual apa yang diperlukan, yang paling banyak dicari dan diburu oleh masyarakat. Tidak jarang mereka beramai-ramai berderat menjajakan barang dagangan yang sama, membunuh rasa takut dagangan mereka tidak laku, sehingga merasa cukup untuk mempertahankan apa yang sudah ada. Menolak perkembangan dan ide baru. Dalam kenyataannya orang Bali takut kepada hal yang tabu, takut apabila mengambil langkah yang salah bukan untung maloah buntung. Sifat orang Bali inilah yang menyebabkan Bali seperti berjalan di tempat. Mereka semua terbelenggu.
Sesungguhnya Bali memiliki banyak kelebihan yang dapat dimanfaatkan. Tidak hanya pariwisata yang hingga kini masih saja diagung-agungkan, namun pertanian dan perkebunan menunggu garapan tangan seorang putra Bali. Orang Bali harusnya bangga untuk menjadi profesi kalangan “sudra” itu. Mereka harusnya sadar bahwa merekalah yang menjadi topangan hidup, memberikan kesejahteraan bagi orang-orang Bali lainnya dengan menghasilkan bulir padi yang baik dan berlimpah dengan hasil kebun yang tinggi kualitasnya. Itupun bukan tidak beralasan, pada kenyataanya kalangan “sudra” lah yang paling disayangi dan diperhatikan oleh para leluhur Bali.
Para leluhur senantiasa melahirkan ilmu-ilmu yang menunjang nafas kerja para petani. Mereka membekali para petani sistem penggalan yang akurat, memberikan bekal untuk kemudahan para petani merawat lahan, mengetahui kapan harus bersuka cita menerima hasil taninya, mengetahui kapan harus bekerja, dan kapan harus bersyukur menyelanggarakan upacara kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Kini, masarakat Bali harusnya mulai sadar dan menimba diri kembali dari awal. Bahwa menjadi masyarakat Bali tidaklah segampang dan seindah apa kata bibir manis orang-orang. Namun menjadi orang Bali adalah sutu tantangan mental. Untuk siap menjadi “sudra”, siap mengolah lahan Bali yang tertidur selama ini. Memanfaatkan warisan leluhur, sehingga kita dapat menghilangkan belenggu dari rasa tabu di kehidupan masayarakt bali.
Ah, pujian, kehormatan, profesi, pada akhirnya cuma sepotong problema kehidupan.

No comments: